Jumat, 18 September 2015
Pemerkosaan Yang Halus
Kisahku mungkin biasa saja, yakni tentang prt
(pembantu rumah tangga) yang diperkosa
majikannya.
Memang tidak ada yang istimewa kalau cuma
kejadian semacam itu, namun yang membuat
kisahku unik adalah karena aku tidak hanya
diperkosa majikanku sekali.
Namun, setiap kali ganti majikan hingga tiga kali
aku selalu mengalami perkosaan.
Baik itu perkosaan kasar maupun halus. Aku
akan menceritakan kisahku itu setiap majikan
dalam satu cerita.
Begini kisahku dengan majikan pertama yang
kubaca lowongannya di koran. Dia mencari prt
untuk mengurus rumah kontrakannya karena ia
sibuk bekerja. Aku wajib membersihkan rumah,
memasak, mencuci, belanja dll, pokoknya seluruh
pekerjaan rumah tangga. Untungnya aku
menguasai semuanya sehingga tidak
menyulitkan. Apalagi gajinya lumayan besar plus
aku bebas makan, minum serta berobat kalau
sakit.
Manajer sekitar 35 tahunan itu bernama Pak S,
asal Medan dan sedang ditugasi di kotaku
membangun suatu pabrik. Mungkin sekitar 2
tahun baru proyek itu selesai dan selama itu ia
mendapat fasilitas rumah kontrakan. Ia sendirian.
Istri dan anaknya tak dibawa serta karena takut
mengganggu sekolahnya kalau berpindah-pindah.
Sebagai wanita Jawa berusia 25 tahun mula-mula
aku agak takut menghadapi kekasaran orang
etnis itu, namun setelah beberapa minggu
akupun terbiasa dengan logat kerasnya. Pertama
dulu memang kukira ia marah, namun sekarang
aku tahu bahwa kalau ia bersuara keras memang
sudah pembawaan. Kadang ia bekerja sampai
malam. Sedangkan kebiasaanku setiap petang
adalah menunggunya setelah menyiapkan makan
malam. Sambil menunggu, aku nonton TV di
ruang tengah, sambil duduk di hamparan
permadani lebar di situ. Begitu suara mobilnya
terdengar, aku bergegas membuka pintu pagar
dan garasi dan menutupnya lagi setelah ia
masuk.
"Tolong siapkan air panas, Yem," suruhnya suatu
petang, "Aku kurang enak badan." Akupun
bergegas menjerang air dan menyiapkan bak
kecil di kamar mandi di kamarnya. Kulihat ia
menjatuhkan diri di kasurnya tanpa melepas
sepatunya. Setelah mengisi bak air dengan air
secukupnya aku berbalik keluar. Tapi melihat Pak
Siregar masih tiduran tanpa melepas sepatu,
akupun berinisiatif.
"Sepatunya dilepas ya, pak," kataku sambil
menjangkau sepatunya.
"Heeh," sahutnya mengiyakan. Kulepas sepatu
dan kaos kakinya lalu kuletakkan di bawah
ranjang.
"Tubuh bapak panas sekali ya?" tanyaku karena
merasakan hawa panas keluar dari tubuhnya.
"Bapak masuk angin, mau saya keroki?" tawarku
sebagaimana aku sering lakukan di dalam
keluargaku bila ada yang masuk angin.
"Keroki bagaimana, Yem?" Baru kuingat bahwa ia
bukan orang Jawa dan tidak tahu apa itu
kerokan. Maka sebisa mungkin kujelaskan.
"Coba saja, tapi kalau sakit aku tak mau,"
katanya. Aku menyiapkan peralatan lalu
menuangkan air panas ke bak mandi.
"Sekarang bapak cuci muka saja dengan air
hangat, tidak usah mandi," saranku. Dan ia
menurut. Kusiapkan handuk dan pakaiannya.
Sementara ia di kamar mandi aku menata
kasurnya untuk kerokan. Tak lama ia keluar
kamar mandi tanpa baju dan hanya membalutkan
handuknya di bagian bawah. Aku agak jengah.
Sambil membaringkan diri di ranjang ia
menyuruhku, "Tolong kau ambil handuk kecil lalu
basahi dan seka badanku yang berkeringat ini."
Aku menurut. Kuambil washlap lalu kucelup ke
sisa air hangat di kamar mandi, kemudian seperti
memandikan bayi dadanya yang berbulu lebat
kuseka, termasuk ketiak dan punggungnya
sekalian.
"Bapak mau makan dulu?" tanyaku.
"Tak usahlah. Kepala pusing gini mana ada nafsu
makan?" jawabnya dengan logat daerah, "Cepat
kerokin aja, lalu aku mau tidur."
Maka ia kusuruh tengkurap lalu mulai kuborehi
punggungnya dengan minyak kelapa campur
minyak kayu putih. Dengan hati-hati kukerok
dengan uang logam lima puluhan yang halus.
Punggung itu terasa keras. Aku berusaha agar ia
tidak merasa sakit. Sebentar saja warna merah
sudah menggarisi punggungnya. Dua garis merah
di tengah dan lainnya di sisi kanan.
"Kalau susah dari samping, kau naik sajalah ke
atas ranjang, Yem," katanya mengetahui posisiku
mengerokku kurang enak. Ia lalu menggeser ke
tengah ranjang.
"Maaf, pak," akupun memberanikan diri naik ke
ranjang, bersedeku di samping kanannya lalu
berpindah ke kirinya setelah bagian kanan
selesai.
"Sekarang dadanya, pak," kataku. Lalu ia
berguling membalik, entah sengaja entah tidak
handuk yang membalut pahanya ternyata sudah
kendor dan ketika ia membalik handuk itu
terlepas, kontan nampaklah penisnya yang cukup
besar. Aku jadi tergagap malu.
"Ups, maaf Yem," katanya sambil membetulkan
handuk menutupi kemaluannya itu. Sekedar
ditutupkan saja, tidak diikat ke belakang.
Sebagian pahanya yang berbulu nampak kekar.
"Eh, kamu belum pernah lihat barangnya laki-laki,
Yem?"
"Bbb..belum, pak," jawabku. Selama ini aku baru
melihat punya adikku yang masih SD.
"Nanti kalau sudah kawin kamu pasti terbiasalah
he he he.." guraunya. Aku tersipu malu sambil
melanjutkan kerokanku di dadanya. Bulu-bulu
dada yang tersentuh tanganku membuatku agak
kikuk. Apalagi sekilas nampak Pak S malah
menatap wajahku.
"Biasanya orang desa seusia kau sudah kawinlah.
Kenapa kau belum?"
"Saya pingin kerja dulu, pak."
"Kau tak ingin kawin?"
"Ingin sih pak, tapi nanti saja."
"Kawin itu enak kali, Yem, ha ha ha.. Tak mau
coba? Ha ha ha.." Wajahku pasti merah panas.
"Sudah selesai, pak," kataku menyelesaikan
kerokan terakhir di dadanya.
"Sabar dululah, Yem. Jangan buru-buru.
Kerokanmu enak kali. Tolong kau ambil minyak
gosok di mejaku itu lalu gosokin dadaku biar
hangat," pintanya. Aku menurut. Kuambil minyak
gosok di meja lalu kembali naik ke ranjang
memborehi dadanya.
"Perutnya juga, Yem," pintanya lagi sambil sedikit
memerosotkan handuk di bagian perutnya. Pelan
kuborehkan minyak ke perutnya yang agak buncit
itu. Handuknya nampak bergerak-gerak oleh
benda di bawahnya, dan dari sela-selanya kulihat
rambut-rambut hitam. Aku tak berani
membayangkan benda di bawah handuk itu.
Namun bayangan itu segera jadi kenyataan
ketika tangan Pak S menangkap tanganku sambil
berbisik, "Terus gosok sampai bawah, Yem," dan
menggeserkan tanganku terus ke bawah sampai
handuknya ikut terdorong ke bawah. Nampaklah
rambut-rambut hitam lebat itu, lalu.. tanganku
dipaksa berhenti ketika mencapai zakarnya yang
menegang.
"Jangan, pak," tolakku halus.
"Tak apa, Yem. Kau hanya mengocok-ngocok
saja.." Ia menggenggamkan penisnya ke
tanganku dan menggerak-gerakkannya naik turun,
seperti mengajarku bagaimana mengonaninya.
"Jangan, pak.. jangan.." protesku lemah. Tapi
aku tak bisa beranjak dan hanya menuruti
perlakuannya. Sampai aku mulai mahir mengocok
sendiri.
"Na, gitu terus. Aku sudah lama tak ketemu
istriku, Yem. Sudah tak tahan mau dikeluarin..
Kau harus bantu aku.. Kalau onani sendiri aku
sudah sulit, Yem. Harus ada orang lain yang
mengonani aku.. Tolong Yem, ya?" pintanya
dengan halus. Aku jadi serba salah. Tapi
tanganku yang menggenggam terus kugerakkan
naik turun. Sekarang tangannya sudah berada di
sisi kanan-kiri tubuhnya. Ia menikmati kocokanku
sambil merem melek.
"Oh. Yem, nikmat kali kocokanmu.. Iya, pelan-
pelan aja Yem. Tak perlu tergesa-gesa.. oohh..
ugh.." Tiba-tiba tangan kanannya sudah
menjangkau tetekku dan meremasnya. Aku
kaget, "Jangan pak!" sambil berkelit dan
menghentikan kocokan.
"Maaf, Yem. Aku benar-benar tak tahan.
Biasanya aku langsung peluk istriku. Maaf ya
Yem. Sekarang kau kocoklah lagi, aku tak nakal
lagi.." Sambil tangannya membimbing tanganku
kembali ke arah zakarnya. Aku beringsut
mendekat kembali sambil takut-takut. Tapi
ternyata ia memegang perkataannya. Tangannya
tak nakal lagi dan hanya menikmati kocokanku.
Sampai pegal hampir 1/2 jam aku mengocok
namun ia tak mau berhenti juga.
"Sudah ya, pak," pintaku.
"Jangan dulu, Yem. Nantilah sampai keluar.."
"Keluar apanya, pak?" tanyaku polos.
"Masak kau belum tahu? Keluar spermanyalah..
Paling nggak lama lagi.. Tolong ya, Yem, biar aku
cepat sehat lagi.. Besok kau boleh libur sehari
dah.."
Ingin tahu bagaimana spermanya keluar, aku
mengocoknya lebih deras lagi. Zakarnya semakin
tegang dan merah berurat di sekelilingnya.
Genggaman tanganku hampir tak muat. 15 menit
kemudian.
"Ugh, lihat Yem, sudah mau keluar. Terus kocok,
teruuss.. Ugh.." Tiba-tiba tubuhnya bergetar-
getar dan.. jreet.. jret.. cret.. cret.. cairan putih
susu kental muncrat dari ujung zakarnya ke atas
sperti air muncrat. Aku mengocoknya terus
karena zakar itu masih terus memuntahkan
spermanya beberapa kali. Tanganku yang kena
sperma tak kupedulikan. Aku ingin melihat
bagaimana pria waktu keluar sperma. Setelah
spermanya berhenti dan dia nampak loyo, aku
segera ke kamar mandi mencuci tangan.
"Tolong cucikan burungku sekalian, Yem, pake
washlap tadi.." katanya padaku. Lagi-lagi aku
menurut. Kulap dengan air hangat zakar yang
sudah tak tegang lagi itu serta sekitar
selangkangannya yang basah kena sperma..
"Sudah ya pak. Sekarang bapak tidur saja, biar
sehat," kataku sambil menyelimuti tubuh
telanjangnya. Ia tak menjawab hanya
memejamkan matanya dan sebentar kemudian
dengkur halusnya terdengar. Perlahan
kutinggalkan kamarnya setelah mematikan
lampu. Malam itu aku jadi sulit tidur ingat
pengalaman mengonani Pak S tadi. Ini benar-
benar pengalaman pertamaku. Untung ia tidak
memperkosaku, pikirku.
Namun hari-hari berikut, kegiatan tadi jadi
semacam acara rutin kami. Paling tidak
seminggu dua kali pasti terjadi aku disuruh
mengocoknya. Lama-lama akupun jadi terbiasa.
Toh selama ini tak pernah terjadi perkosaan atas
vaginaku. Namun yang terjadi kemudian malah
perkosaan atas mulutku. Ya, setelah tanganku
tak lagi memuaskan, Pak S mulai memintaku
mengonani dengan mulutku. Mula-mula aku jelas
menolak karena jijik. Tapi ia setengah memaksa
dengan menjambak rambutku dan mengarahkan
mulutku ke penisnya.
"Cobalah, Yem. Tak apa-apa.. Jilat-jilat aja dulu.
Sudah itu baru kamu mulai kulum lalu isep-isep.
Kalau sudah terbiasa baru keluar masukkan di
mulutmu sampai spermanya keluar. Nanti aku
bilang kalau mau keluar.." Awalnya memang ia
menepati, setiap hendak keluar ia ngomong lalu
cepat-cepat kulepaskan mulutku dari penisnya
sehingga spermanya menyemprot di luar mulut.
Namun setelah berlangsung 2-3 minggu, suatu
saat ia sengaja tidak ngomong, malah menekan
kepalaku lalu menyemprotkan spermanya banyak-
banyak di mulutku sampai aku muntah-muntah.
Hueekk..! Jijik sekali rasanya ketika cairan kental
putih asin agak amis itu menyemprot
tenggorokanku. Ia memang minta maaf karena
hal ini, tapi aku sempat mogok beberapa hari dan
tak mau mengoralnya lagi karena marah. Namun
hatiku jadi tak tega ketika ia dengan memelas
memintaku mengoralnya lagi karena sudah
beberapa bulan ini tak sempat pulang menjenguk
istrinya. Anehnya, ketika setiap hendak keluar
sperma ia ngomong, aku justru tidak melepaskan
zakarnya dari kulumanku dan menerima
semprotan sperma itu. Lama-lama ternyata tidak
menjijikkan lagi.
Demikianlah akhirnya aku semakin lihai
mengoralnya. Sudah tak terhitung berapa banyak
spermanya kutelan, memasuki perutku tanpa
kurasakan lagi. Asin-asin kental seperti fla agar-
agar. Akibat lain, aku semakin terbiasa tidur
dipeluk Pak S. Bagaimana lagi, setelah capai
mengoralnya aku jadi enggan turun dari
ranjangnya untuk kembali ke kamarku. Mataku
pasti lalu mengantuk, dan lagi, toh ia tak akan
memperkosaku. Maka begitu acara oral selesai
kami tidur berdampingan. Ia telanjang, aku pakai
daster, dan kami tidur dalam satu selimut.
Tangannya yang kekar memelukku. Mula-mula
aku takut juga tapi lama-lama tangan itu seperti
melindungiku juga. Sehingga kubiarkan ketika
memelukku, bahkan akhir-akhir ini mulai
meremasi tetek atau pantatku, sementara
bibirnya menciumku. Sampai sebatas itu aku tak
menolak, malah agak menikmati ketika ia
menelentangkan tubuhku dan menindih dengan
tubuh bugilnya.
"Oh, Yem.. Aku nggak tahan, Yem.. buka
dastermu ya?" pintanya suatu malam ketika
tubuhnya di atasku.
"Jangan pak," tolakku halus.
"Kamu pakai beha dan CD saja, Yem, gak bakal
hamil. Rasanya pasti lebih nikmat.." rayunya
sambil tangannya mulai mengkat dasterku ke
atas.
"Jangan pak, nanti keterusan saya yang celaka.
Begini saja sudah cukup pak.." rengekku.
"Coba dulu semalam ini saja, Yem, kalau tidak
nikmat besok tidak diulang lagi.." bujuknya
sambil meneruskan menarik dasterku ke atas dan
terus ke atas sampai melewati kepalaku sebelum
aku sempat menolak lagi.
"Woow, tubuhmu bagus, Yem," pujinya melihat
tubuh coklatku dengan beha nomor 36.
"Malu ah, Pak kalau diliatin terus," kataku manja
sambil menutup dengan selimut. Tapi sebelum
selimut menutup tubuhku, Pak S sudah lebih dulu
masuk ke dalam selimut itu lalu kembali
menunggangi tubuhku. Bibirku langsung
diserbunya. Lidahku dihisap, lama-lama akupun
ikut membalasnya. Usai saling isep lidah.
Lidahnya mulai menuruni leherku. Aku
menggelinjang geli. Lebih lagi sewaktu lidahnya
menjilat-jilat pangkal payudaraku sampai ke sela-
sela tetekku hingga mendadak seperti gemas ia
mengulum ujung behaku dan mengenyut-
ngenyutnya bergantian kiri-kanan. Spontan aku
merasakan sensasi rasa yang luar biasa nikmat.
Refleks tanganku memeluk kepalanya. Sementara
di bagian bawah aku merasa pahanya
menyibakkan pahaku dan menekankan zakarnya
tepat di atas CD-ku.
"Ugh.. aduuh.. nikmat sekali," aku bergumam
sambil menggelinjang menikmati cumbuannya.
Aku terlena dan entah kapan dilepasnya tahu-
tahu payudaraku sudah tak berbeha lagi. Pak S
asyik mengenyut-ngenyut putingku sambil
menggenjot-genjotkan zakarnya di atas CD-ku.
"Jangan buka CD saya, pak," tolakku ketika
merasakan tangannya sudah beraksi memasuki
CDku dan hendak menariknya ke bawah. Ia
urungkan niatnya tapi tetap saja dua belah
tangannya parkir di pantatku dan meremas-
remasnya. Aku merinding dan meremang dalam
posisi kritis tapi nikmat ini. Tubuh kekar Pak S
benar-benar mendesak-desak syahwatku.
Jadilah semalaman itu kami tak tidur. Sibuk
bergelut dan bila sudah tak tahan Pak Siregar
meminta aku mengoralnya. Hampir subuh ketika
kami kecapaian dan tidur berpelukan dengan
tubuh bugil kecuali aku pakai CD. Aku harus
mampu bertahan, tekadku. Pak S boleh
melakukan apa saja pada tubuhku kecuali
memerawaniku.
Tapi tekad tinggal tekad. Setelah tiga hari kami
bersetubuh dengan cara itu, pada malam
keempat Pak S mengeluarkan jurusnya yang lebih
hebat dengan menjilati seputar vaginaku
meskipun masih ber-CD. Aku berkelojotan nikmat
dan tak mampu menolak lagi ketika ia perlahan-
lahan menggulung CD ku ke bawah dan melepas
dari batang kakiku. Lidahnya menelusupi lubang
V-ku membuatku bergetar-getar dan akhirnya
orgasme berulang-ulang. Menjelang orgasme
yang kesekian kali, sekonyong-konyong Pak
Siregar menaikkan tubuhnya dan mengarahkan
zakarnya ke lubang nikmatku. Aku yang masih
belum sadar apa yang terjadi hanya merasakan
lidahnya jadi bertambah panjang dan panjang
sampai.. aduuhh.. menembus selaput daraku.
"Pak, jangan pak! Jangan!" Protesku sambil
memukuli punggunya. Tetapi pria ini begitu kuat.
Sekali genjot masuklah seluruh zakarnya.
Menghunjam dalam dan sejurus kemudian aku
merasa memekku dipompanya cepat sekali.
Keluar masuk naik turun, tubuhku sampai tergial-
gial, terangkat naik turun di atas ranjang pegas
itu. Air mataku yang bercampur dengan rasa
nikmat di vagina sudah tak berarti. Akhirnya
hilang sudah perawanku. Aku hanya bisa pasrah.
Bahkan ikut menikmati persetubuhan itu.
Setelah kurenung-renungkan kemudian, ternyata
selama ini aku telah diperkosa secara halus
karena kebodohanku yang tidak menyadari
muslihat lelaki. Sedikit demi sedikit aku digiring
ke situasi dimana hubungan seks jadi tak sakral
lagi, dan hanya mengejar kenikmatan demi
kenikmatan. Hanya mencari orgasme dan
ejakulasi, menebar air mani!
Hampir dua tahun kami melakukannya setiap hari
bisa dua atau tiga kali. Pak S benar-benar
memanfaatkan tubuhku untuk menyalurkan
kekuatan nafsu seksnya yang gila-gilaan, tak
kenal lelah, pagi (bangun tidur), siang (kalau dia
istirahat makan di rumah) sampai malam hari
sebelum tidur (bisa semalam suntuk). Bahkan
pernah ketika dia libur tiga hari, kami tidak
beranjak dari ranjang kecuali untuk makan dan
mandi. Aku digempur habis-habisan sampai tiga
hari berikutnya tak bisa bangun karena rasa
perih di V-ku. Aku diberinya pil kb supaya tidak
hamil. Dan tentu saja banyak uang, cukup untuk
menyekolahkan adik-adikku. Sampai akhirnya
habislah proyeknya dan ia harus pulang ke kota
asalnya. Aku tak mau dibawanya karena terlalu
jauh dari orang tuaku. Ia janji akan tetap
mengirimi aku uang, namun janji itu hanya
ditepatinya beberapa bulan. Setelah itu berhenti
sama sekali dan putuslah komunikasi kami.
Rumahnya pun aku tak pernah tahu dan akupun
kembali ke desa dengan hati masygul.
Itulah kisahku dengan majikan yang pertama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar