Minggu, 20 September 2015

Ling Ling

poker uang asli

Ling Ling termasuk anak yang rajin.
Setiap habis ada pertemuan di markas kelompok
pecinta alam
tersebut, ia selalu menyingsingkan lengan
bajunya untuk ikut membereskan segala
sesuatunya,
bahkan termasuk mengangkat barang-barang
yang cukup berat.
Itu tidak menjadi problem yang berarti baginya.
Ling Ling memang amat kelaki-lakian. Jika dilihat
sekilas, hampir tidak ada
tanda-tanda pada dirinya
yang menunjukkan bahwa dia
itu sebenarnya perempuan.
Buah dadanya termasuk
hampir rata, hanya
menampakkan lengkungan
kecil saja di dadanya jika ia
sedang memakai kaos oblong.
Pinggang dan pantatnya pun
tidak kalah ratanya dengan
buah dadanya. Pokoknya Ling
Ling lebih pantas menjadi laki-
laki daripada seorang
perempuan. Bahkan pertama
kali aku mengenalnya waktu
hari pertama di kelas satu,
aku heran melihatnya. Aku
melihatnya anak laki-laki aneh
yang selalu menggunakan
pakaian seragam wanita,
blous putih dan rok pendek
abu-abu. Cuma suaranya saja
yang kecil yang menandakan
ia masih termasuk kategori
cewek. Itu pun terdengar
galak dan tegas.
Suatu waktu, kelompok
pecinta alam sekolahku di
mana aku dan Ling Ling
bergabung di dalamnya
berencana untuk mengadakan
acara mendaki gunung di
Gunung Salak, Jawa Barat.
Setiap kelas diminta untuk
mengirimkan minimal dua
orang wakilnya. Aku dan Ling
Ling mengikuti acara tersebut
sebagai wakil kelas II A1-2.
Pada hari yang ditentukan
berangkatlah seluruh peserta
acara tersebut ke tempat
tujuan.
Hari pertama di tempat
tujuan, sebelum mendaki,
seluruh peserta beristirahat
sejenak di kaki gunung
dengan hanya menggelar
sleeping bag atau kasur
gulung saja sebagai alas. Saat
itu masih siang. Menjelang
sore baru kami semua
berangkat. Pendakian hari itu
memang ditujukan untuk
melatih para peserta mendaki
gunung di malam hari. Udara
yang sangat dingin begitu
menusuk tulang, meski jaket
yang cukup tebal sudah
melekat di badan. Tapi benar
saja. Rasa dingin itu
berangsur-angsur lenyap
saat kami mulai berjalan
melewati jalan setapak yang
tersedia. Malah berubah
menjadi hangat sewaktu jalan
mulai menanjak cukup tinggi.
Aku, Ling Ling dan beberapa
orang lagi kebetulan berada
di rombongan paling belakang.
Ling Ling berjalan paling
buncit di belakangku. Walau
aku sudah berulang kali
mempersilakannya untuk
berjalan di depanku, namun ia
tetap berkeras tidak mau
mendahuluiku. Aku yang tidak
enak hati membiarkan cewek
berjalan paling belakang tidak
bisa berbuat apa-apa lagi.
Aku mengenal sifat Ling Ling
yang keras kepala. Begitu ia
memutuskan sesuatu, tak
akan pernah ia mengubahnya
meski dibujuk rayu
bagaimanapun caranya.
Kami mulai terengah-engah.
Nafas rasanya hampir habis
dipaksa berjalan dengan
cepat. Kami semua mendekati
sebuah tanjakan cukup terjal.
Di kiri kanannya terdapat
jurang. Tidak terlalu dalam
memang, tapi cukup
menakutkan dalam gelapnya
malam. Aku menoleh ke
belakang. Kulihat Ling Ling
tetap tegar. Tak ada rasa
ragu atau gentar sedikitpun
dalam dirinya. Aku kagum
padanya. Sebenarnya, hatiku
sedikit kecut juga. Belum
pernah aku mendaki gunung
di waktu malam. Seram
rasanya melihat kegelapan di
mana-mana di sekelilingku.
Cuma lampu senter yang
dibawa masing-masing
peserta saja yang menjadi
penerang.
Akhirnya kami tiba di
tanjakan terjal tersebut.
Hampir semua para peserta
melongo melihat tingginya
sudut kemiringan tanjakan
itu. Tetapi bagaimanapun
juga, kami tetap harus
mendakinya, meski dengan
sudah payah.
"Kresek.. Gedubrak..!" Aku
berhenti berjalan, terkejut
mendengar suara itu dan
menoleh ke belakang.
Ternyata di belakangku sudah
tidak ada siapa-siapa lagi. Ke
mana si Ling Ling? Kucoba
melihat dalam gelap ke awal
tanjakan. Samar-samar
kulihat ada yang bergerak-
gerak di bawah sana.
Kusorotkan lampu senterku
ke arah itu. Ternyata kulihat
Ling Ling yang sedang
terduduk dengan mengurut-
urut pahanya sambil meringis-
ringis kesakitan. Tanpa
mempedulikan para peserta
lainnya di depanku yang
sudah cukup jauh di depan,
aku berbalik arah dan
memburu turun tanjakan
kembali ke tempat Ling Ling
berada.
"Ling Ling! Kamu kenapa,
Ling?" Aku bertanya kepada
Ling Ling ketika sudah sampai
di bawah.
"Kaki saya nih, Ron. Agak
keseleo", jawabnya.
"Aduh. Celaka juga. Bagaimana
ya?"
"Aduh!" Ling Ling mengaduh
kesakitan.
"Kamu bisa jalan nggak, Ling."
"Kita coba deh. Kamu bantuin
saya ya, Ron."
Akhirnya aku membantu Ling
Ling bangkit berdiri. Setelah
susah payah akhirnya
berhasil. Aku memapahnya,
mencoba berjalan. Tetapi Ling
Ling tambah meringis-ringis.
Sialnya lagi, hujan gerimis
mulai turun. Aku jadi bingung
mau berbuat apa, tapi Ling
Ling tetap kelihatan tenang.
Sialan! Gara-gara dia, aku jadi
bingung seratus keliling, tapi
dia malah tenang saja,
gerutuku dalam hati.
"Ling, kayaknya hujannya
tambah deras aja. Mendingan
kita cari tempat untuk
berteduh dulu ya."
"Terserah kamu deh, Ron."
Di tengah hujan yang semakin
deras, aku dan Ling Ling
mencari-cari tempat yang
cocok untuk berteduh sambil
menunggu hujan reda. Setelah
mencari cukup lama di bawah
derasnya air hujan, akhirnya
aku menemukan sebuah goa
yang cukup lapang yang kira-
kira luasnya cukup untuk
menampung sepuluh orang
tetapi pintu masuknya agak
tersembunyi dan sulit
ditemukan dalam gelap. Kami
berdua masuk ke dalam goa
tersebut.
Aku mencari-cari dalam ransel
anti air yang kubawa
barang-barang yang kira-kira
bisa kupakai di situ. Aha!
Kutemukan geretan gas dan
sebatang lilin. Kunyalakan lilin
itu dan kuletakkan di suatu
tonjolan di dinding goa.
Lumayan, cukup terang untuk
menerangi dalam goa
tersebut. Aku melihat ke arah
Ling Ling. Kasihan sekali dia.
Ling Ling tampak menggigil
kedinginan. Aku dan dia
sama-sama memakai jaket
anti air. Tetapi jaket Ling Ling
terkoyak cukup lebar
sewaktu jatuh tadi. Dan
akibatnya pakaiannya jadi
basah kuyup, sedangkan
pakaianku sendiri aman-aman
saja, hanya basah sedikit.
Aku tak tega menyaksikan
Ling Ling kedinginan seperti
itu karena mengenakan
pakaian yang basah kuyup.
Akhirnya aku mengusulkan
agar ia membuka semua
pakaiannya yang basah dan
sebagai penggantinya, ia
kupinjami jaket tebal yang
kupakai. Mula-mula Ling Ling
kelihatannya ragu-ragu harus
membuka pakaian di depanku.
Tetapi setelah aku
membujuknya dan berulangkali
kujelaskan bahwa aku tak
bermaksud buruk padanya, ia
mau. Akhirnya dengan berdiri
membelakangiku, Ling Ling
mulai menanggalkan satu
persatu pakaian yang
dikenakannya di bawah
temaramnya cahaya lilin
sebatang, setelah melepas
sepatu ketsnya. Aku
sebenarnya tidak bermaksud
menontonnya, tetapi karena
hanya di tempat itu yang
terang, mau tak mau aku
memandang ke arahnya juga.
Pertama-tama, Ling Ling
memberikan jaketnya yang
sobek kepadaku. Kemudian ia
melepaskan sweater dan kaos
oblong yang dipakainya. Aku
terpukau sejenak melihat
tubuh bagian atasnya yang
putih dan kulitnya yang mulut
dengan hanya mengenakan
BH berukuran kecil. Dengan
menutupi dadanya yang
hampir terbuka dengan
tangan, Ling Ling membalikkan
badannya dan melemparkan
pakaiannya itu padaku. Aku
membalasnya dengan
memberinya jaketku yang
cukup tebal dan bagian
dalamnya masih kering.
Setelah menerima
pemberianku, Ling Ling
berbalik badan lagi, kembali
membelakangiku. Lalu ia
membuka tali BH-nya dan
menanggalkan penutup buah
dadanya itu.
Sewaktu ia hendak memakai
jaket pemberianku, tiba-tiba
jaket itu terlepas dari
tangannya dan jatuh ke
tanah. Ling Ling membungkuk
ke samping. Dari terangnya
cahaya lilin, aku melihat buah
dadanya. Ukurannya memang
kecil, cuma sebesar buah
dada anak SD. Tetapi kulihat
ujungnya runcing dan puting
susunya berukuran lebih kecil
sedikit daripada ukuran
penghapus di ujung pensil.
Ling Ling tidak menyadari
bahwa aku sedang
memperhatikan tubuhnya
yang setengah telanjang.
Sesudah memakai jaketku,
lalu Ling Ling berjongkok
sedikit untuk membuka celana
panjang dan celana dalamnya.
Kusaksikan di depan mata
kepalaku sendiri pantatnya
yang tidak montok tapi mulus
dan putih. Barangkali akibat
cahaya lilin yang remang-
remang, tubuh Ling Ling yang
sebenarnya bukan tipe
bentuk tubuh idamanku,
kurasakan tampak sensual
sekali. Dan itu sudah cukup
untuk membuat kemaluanku
berdiri. Sementara sekilas
lewat sebuah pikiran jahat di
otakku, yaitu untuk
memperkosa Ling Ling.
Untunglah, akal sehatku masih
jauh lebih kuat.
"Kamu udah selesai, Ling."
"Udah, Ron. Terima kasih ya
atas bantuan kamu."
"Don't mention it", jawabku.
"Tapi.. aduh.. duh.." Tiba-tiba
Ling Ling mengaduh-aduh lagi
ketika ia mencoba berjalan
menghampiri tempat dudukku.
Aku berdiri dan membantunya
berjalan ke tempat dudukku
itu yang kebetulan berada di
tanah yang datar. Kubantu
lagi Ling Ling untuk duduk di
atas ranselku.
"Di mana yang sakit, Ling?"
tanyaku.
"Di sini, Ron. Paha saya sakit
banget nih. Keseleo kali ya?"
sahut Ling Ling sembari
mengurut-urut pahanya yang
tampak mulai membiru. Aku
menyentuh paha Ling Ling
yang putih, namun aku
langsung sadar dan menarik
tanganku.
"Nggak pa-pa kok, Ron, kamu
mengurut pahaku. Asal saja
kamu nggak berpikiran yang
macam-macam."
Akhirnya aku menuruti
perkataan Ling Ling. Aku mulai
mengurut pahanya dengan
perlahan-lahan. Tiba-tiba ia
berteriak kesakitan sewaktu
aku mengurutnya terlalu
keras. Karena rasa sakit itu,
tanpa sengaja ia
merenggangkan kedua
kakinya. Dari cahaya lilin yang
masuk ke dalam celah-celah
di antara kedua pahanya
yang merenggang itu, aku
dapat melihat dengan samar-
samar selangkangannya
dengan seonggok warna
kehitaman yang terletak di
tengah-tengah selangkangan
itu. Kemaluanku menjadi
semakin berdiri. Untungnya,
Ling Ling tidak
mengetahuinya.
Karena aku takut kalau Ling
Ling kesakitan lagi, aku
mengurut pahanya dengan
hati-hati. Bahkan saking
pelannya, Ling Ling merasa itu
bukan sebuah urutan lagi,
melainkan sebuah elusan. Dan
ini dirasakannya sungguh
nikmat. Belum pernah dalam
hidupnya, pahanya disentuh
oleh laki-laki. Ini dibuktikan
oleh desahan-desahan kecil
yang keluar dari mulutnya
waktu aku sedang
mengurutnya. Bodohnya, aku
tidak menyadarinya. Aku
menganggap desahan-
desahan ini hanya sebagai
reaksi akibat rasa sakit pada
pahanya saat kuurut. Tidak
lebih dari itu.
"Gimana, Ling? Udah
mendingan kan sekarang?"
tanyaku setelah selesai
mengurutnya.
"Iya, bener, Ron. Paha saya
udah nggak begitu sakit lagi.
Saya coba pake buat jalan
ya."
Kubantu Ling Ling berdiri
dengan hati-hati. Setelah ia
berdiri, perlahan-lahan ia
kulepas. Aku berdiri agak
menjauh dari tempatnya.
Kemudian aku memintanya
mencoba berjalan ke arahku.
Ling Ling dengan susah payah
mencoba menggerakkan
kakinya. Dengan tetap
meringis-ringis, ia tertatih-
tatih berjalan ke arahku.
Kira-kira mencapai jarak
tinggal setengah meter dari
tempatku berdiri, tiba-tiba
Ling Ling terhuyung-huyung
dan langsung ambruk. Untung
saja aku lebih cepat dan
sempat menyambarnya
sebelum ia jatuh mencium
lantai goa.
"Aaiih.." Ling Ling mendesah
ketika aku menangkap
tubuhnya. Aku menjadi kaget.
Astaga..! Ternyata aku tak
sengaja mencengkeram buah
dadanya. Memang terasa ada
sesuatu yang kenyal di
telapak tanganku, tapi aku
tidak menyadarinya, sebab
waktu aku menangkap tubuh
Ling Ling itu adalah karena
gerak refleksku.
"Ron, Ronny.. Lepasin dong.."
Teriakan Ling Ling membuatku
sadar. Ternyata karena aku
kaget tadi, aku bukannya
melepaskannya tapi malah
mencengkeram buah dadanya
semakin kencang. Kulihat
wajahnya memerah. Aku
melepaskan tanganku dari
tubuh Ling Ling dan mencoba
mengajaknya mencoba
berjalan lagi. Aku mundur
sedikit kira-kira satu meter.
Ling Ling pun kembali
tertatih-tatih berusaha
berjalan menghampiriku. Lagi-
lagi setelah ia sudah cukup
dekat, tubuhnya
sempoyongan, dan lagi-lagi
aku berhasil menangkapnya.
Tubuhnya langsung ambruk
ke pelukanku. Dan wajahnya
tepat berada di depan
wajahku, cuma berjarak lebih
kurang satu senti saja.
Sejenak aku dan Ling Ling
saling memandang lama satu
sama lain. Seperti ada yang
menggerakkanku, terjadi
suatu aliran yang aneh di
dadaku. Tanpa sempat
kucegah sendiri, bibirku
sekonyong-konyong sudah
menempel pada bibir Ling Ling
yang masih pucat. Ling Ling
mencoba melepaskan diri.
Namun mengapa, semakin ia
mencoba menghindar, semakin
erat saja bibir kami menyatu.
Akhirnya, ia tidak menghindar
lagi, malah kelihatannya ia kini
menerima bibirku dengan
ikhlas.
Mengetahui penerimaan Ling
Ling ini, gairahku pun timbul.
Dengan berani aku mulai
mengulum bibirnya yang
setengah membuka. Sensual
sekali disinari cahaya lilin yang
remang-remang. Kulihat, Ling
Ling pun tampaknya membalas
kulumanku. Bahkan ia
mengeluarkan lidahnya dan
menjilati lidahku. Akhirnya
bibir kami berdua saling
memagut dan lidah kami saling
menjilat. Kami melakukan
'french kissing' ini hampir
selama 5 menit. Kami sudah
tidak mempedulikan lagi
temaramnya cahaya lilin,
gelapnya malam, dinginnya
udara, dan turunnya air
hujan di luar goa yang
semakin bertambah deras.
Kami sedang terhanyut dalam
nafsu birahi yang muncul
secara mendadak. Terutama
setelah pakaianku juga
terlucuti semua.
Tanganku turun ke arah
dada Ling Ling. Kutelusuri
lengkungan kecil di dadanya
melalui balik jaket. Ling Ling
tampak menggelinjang kecil
ketika jamahan tanganku
mengenai suatu titik kecil di
tengah-tengah lengkungan
itu yang menonjol seukuran
penghapus di ujung pensil.
Kujilat benda mungil yang
berbentuk pentil itu melalui
kain jaket yang menutupinya.
Tidak sabaran, aku membuka
zipper jaket yang dipakai Ling
Ling. Setelah zipper itu
terbuka setengahnya, aku
merogohkan tangan ke dalam
zipper itu, ke balik jaket. Ling
Ling menggeliat dan mendesis
sewaktu tanganku mendarat
di dadanya. Dan ia
mengulanginya lagi ketika
buah dadanya kuremas. Buah
dada yang kecil ukurannya
tapi kenyal amat
mengasyikkan bagi tanganku.
Baru kali ini aku mendapat
kesempatan memegang buah
dada seorang wanita. Dan
kebetulan wanita itu adalah
Ling Ling, teman sekelasku.
"Aaahh.." desah Ling Ling lagi
waktu aku mulai
menggerayangi puting
susunya yang langsung saja
mengeras begitu terkena
jamahanku. Seperti anak kecil
menemukan mainan baru,
kupermainkan puting susu
Ling Ling yang kian
bertambah keras. Semakin
keras lagi, sejalan dengan
semakin lincahnya tanganku
memuntir-muntirnya. Dan
semakin banyak pula, desahan
yang keluar dari mulutnya.
Gerinjal tubuhnya juga
semakin menggila.
Selanjutnya, aku meneruskan
membuka zipper jaket Ling
Ling sampai terbuka
seluruhnya. Lalu kutanggalkan
jaket itu, hingga
terpampanglah tubuh Ling
Ling telanjang bulat tanpa
penutup apapun. Memang
benar taksiranku selama ini.
Buah dadanya memang
berukuran kecil, hanya
berbentuk lengkungan kecil.
Tetapi lengkungan itu
bentuknya membulat dan
indah, serasi dengan
pinggangnya yang ramping
dan pantatnya yang tipis.
Baru kusadari sekarang,
tubuh Ling Ling begitu mulus
dan putih kulitnya, hampir
tanpa noda. Berbeda dengan
tingkah lakunya selama ini
yang begitu kelaki-lakian,
sehingga berkesan tidak ada
waktu untuk merawat
tubuhnya, tidak seperti
cewek-cewek lain lazimnya.
Ling Ling hanya memandangku
dengan diam ketika
kudekatkan bibirku pada
buah dada mungilnya. Dengan
nafsunya kusedot buah dada
yang rasanya kenyal itu.
Mulutku berdecap-decap
seolah-olah tengah menyedot
sesuatu. Sementara itu,
lidahku menjilati dan
menggelitik puting susunya
yang makin mengeras.
Sebentar-sebentar,
kuseruput puting susu yang
menggiurkan tersebut.
Rasanya macam-macam
antara sedikit asam dan
sedikit asin. Barangkali karena
habis basah karena air hujan
dan keringat. Tetapi yang
penting, puting susu Ling Ling
menjadi santapan yang lezat
buat mulutku.
Mulutku berpindah lebih ke
bawah. Mula-mula kujilati
sekujur tubuh bugil Ling Ling,
mulai dari belahan di antara
buah dadaya, kemudian turun
ke bawah sampai perutnya
yang ramping. Di sini aku
berhenti sebentar.
Kucucupkan lidahku memasuki
lubang pusarnya. Ling Ling
menggelinjang kegelian. Lalu
kujilat-jilat lubang pusarnya
dengan gemas. Lubang pusar
Ling Ling bentuknya begitu
indah, begitu bulat seperti
lingkaran.
"Ooohh.. uuhh.." Ling Ling
melenguh panjang. Mulutku
tiba pada selangkangannya. Di
tengah-tengah selangkangan
itu terdapat sebuah lubang
yang kecil lagi sempit dengan
semacam bibir berwarna
kemerahan. Di sekitar lubang
tersebut dihiasi oleh rambut-
rambut kehitaman. Masih
jarang-jarang memang, tapi
cukup membangkitkan selera
siapa yang melihatnya. Nah
wilayah inilah sekarang yang
menjadi wilayah kekuasaan
mulutku. Kujilati wilayah
kekuasaanku itu dengan
penuh birahi tapi lembut. Itu
pun sudah membuat pemilik
asli wilayah tersebut
menggelinjang tubuhnya yang
mulus. Kuusap-usap dengan
lidahku lingkaran seputar bibir
kemerahan sedikit berlipat
yang berada di mulut lubang
sempit di selangkangan itu.
Ketika menemukan daging
kecil yang dikenal orang
dengan nama klitoris di
pangkal bibir kemerahan itu,
lidahku berhenti bergerak.
Sebagai gantinya, ia
membelai-belai daging kecil
yang semakin lama semakin
merah tersebut. Ling Ling,
sebagai pemilik daging kecil
itu, tubuhnya menggeliat-
geliat kencang. Dari mulutnya
pun keluar desahan-desahan
yang binal.
Usai berpetualang di klitoris
Ling Ling, lidahku mulai masuk
merambah lubang kecil dan
sempit yang mulai dilumasi
cairan bening yang mengalir
dari dalamnya. Cairan
'pelumas' itu membuat dinding
lubang itu menjadi licin dan
basah, sehingga memudahkan
lidahku menjelajahi seluruh
permukaannya dengan bebas.
Sungguh suatu sensasi yang
luar biasa bagiku dan Ling
Ling. Terutama bagi Ling Ling,
apalagi setelah ditambah oleh
rangsangan yang ditimbulkan
oleh salah satu jariku yang
kini menggantikan 'pekerjaan'
lidahku di lubang kewanitaan
Ling Ling. Sama seperti
lidahku, semua 'tugas' jariku
ini juga dipermudah berkat
lumasan cairan 'pelumas alami'
yang makin lama kian
membanjir.
Perlahan tapi pasti, jariku
bergerak semakin maju di
dalam lubang kenikmatan Ling
Ling. Sejenak seperti ada
sesuatu yang menghalangi
perjalanan jariku sampai
tujuannya. Namun dengan
sekali gerakan, halangan itu
berhasil diterobos, dengan
sepertinya ada sesuatu yang
sobek.
Ketika kutarik jariku dari
dalam kewanitaan Ling Ling
kulihat ada cairan merah
yang membasahi jariku itu.
Aku tahu apa artinya ini, dan
Ling Ling pun juga tahu. Ini
dibuktikan oleh air mata yang
membasahi pelupuk matanya
saat melihat jariku ini. Ling
Ling tahu, kini pertahanannya
telah berhasil dijebol.
'Benteng' yang selama ini
begitu kukuh
dipertahankannya, malam ini
diruntuhkan begitu saja oleh
teman sekelasnya, yang tak
lain dan tak bukan adalah
aku. Ling Ling belum
memikirkan bagaimana masa
depannya nanti sebagai
seorang gadis yang telah
kehilangan miliknya yang
paling berharga seperti yang
baru saja dialaminya kini.
Akan tetapi, apa boleh buat,
nasi sudah menjadi bubur. Apa
yang sudah terjadi, tidak
boleh ditangisi. Iya kan, Ling.
Air mata kesedihan pun sudah
berhenti mengalir, berganti
dengan air mata tanda rasa
nikmat yang tiada taranya
akibat ada sebuah benda
padat tapi lentur yang
bergerak maju mundur dalam
liang kewanitaannya. Rasa
nikmat tersebut semakin
dirasakannya lagi saat
gerakan maju mundur itu kian
tinggi akselerasinya. Apalagi
ditambah dengan rasa geli
akibat gelitikan-gelitikan lidah
yang diterima oleh puting
susunya.
Ya, kemaluanku semakin
garang menerjang siapa saja
yang mungkin menghadang
dalam perjalanannya di dalam
kewanitaan Ling Ling. Suatu
tugas yang gampang-
gampang susah. Gampang
sebab 'jalur perjalanan' yang
dilewati begitu mulus dan licin
akibat terlampau banyaknya
'cairan pelumas' yang
digunakan. Susah sebab
'perjalanan' ini baru pertama
kali ini dialami oleh kedua
belah pihak. Baik olehku,
maupun oleh Ling Ling. Tetapi,
berkat kami berdua yang
telah menyatu padu dengan
bertumpu pada satu titik,
membuat segala halangan dan
hadangan dalam 'perjalanan'
itu menjadi sirna.
Hujan di luar goa sudah mulai
mereda pada saat kami
hampir tiba di akhir
'perjalanan' kami berdua.
Akhirnya kami sampai di
'tujuan' dengan bersamaan.
Dibarengi dengan lenguhan
dan jeritan panjang dari
kedua insan telanjang, tahap
yang amat diharap-harapkan
oleh pasangan yang sedang
bercinta pun tercapai.
Beberapa jam berselang,
suasana dalam goa pun
berubah menjadi sunyi. Tidak
ada suara apapun yang
terdengar, kecuali suara
jangkrik yang masih
bersahutan di luar. Hujan pun
telah lama reda. Matahari
sudah ingin menampakkan
sosoknya. Yang tertinggal
hanyalah dua makhluk hidup
berlainan jenis kelamin yang
tak berpenutup apapun.
Kedua tubuh bugil itu sama-
sama tertidur nyenyak
dengan tubuh bagian bawah
mereka masih tetap menyatu,
seakan-akan tiada sesuatu
pun yang dapat memisahkan
mereka.
Demikian terlelapnya kedua
insan telanjang tersebut,
sehingga mereka tidak
menyadari ada suara-suara
yang terdengar di mulut goa,
disusul dengan beberapa
langkah kaki yang memasuki
goa itu. Dan dilanjutkan
dengan seruan-seruan tak
percaya setelah melihat apa
yang mereka temukan di
dalam goa.
"Waduh! Gila juga ini anak dua!
Dicariin ke mana-mana, eh
tau-taunya malah main di
sini!"
"Bener-bener keterlaluan
mereka! Kita semua pada
capek nyariin mereka, mereka
malah enak-enakan berdua!"
"Sialan! Mendingan kita hukum
apa mereka?"
"Saya punya ide. Begini saja."
Terdengar beberapa suara
berbisik-bisik.
"Oke, saya setuju. Sekarang
kita bangunin mereka dulu
aja ya."
"Ronny! Ling Ling! Bangun!
Sudah pagi nih! Jangan molor
aja dong!"
Aku terjaga karena merasa
tubuhku digoyang-goyang
seseorang. Dan langsung
melompat kaget ketika
melihat siapa yang
melakukannya. Seketika itu
juga kontan kemaluanku
langsung tertarik keluar dari
dalam kewanitaan Ling Ling
dengan masih meneteskan
cairan kenikmatan yang masih
tersisa. Segera kubangunkan
pula Ling Ling yang juga
langsung melompat kaget dan
langsung meraih apa saja
yang bisa diraih untuk
menutupi tubuhnya yang
telanjang bulat.
"Ayo kita seret mereka dan
hukum mereka." Kemudian aku
dan Ling Ling diseret oleh
mereka yang ternyata para
peserta pendakian gunung
yang sejak malam mencari
kami berdua. Masih dalam
keadaan telanjang bulat
tanpa penutup sehelai benang
pun dan dengan ditonton oleh
seluruh peserta, kami berdua
diarak ke tempat
perkemahan di kaki gunung.
Setiba di tempat perkemahan
kami, aku dan Ling Ling
disuruh berbeda di suatu
areal terbuka di tengah-
tengah perkemahan yang
dimaksudkan sebagai tempat
api unggun pada malam hari.
Angin pagi di pegunungan
begitu dingin terasa di kulit
kami berdua yang tidak
memiliki penutup apapun.
Akhirnya dengan ditonton
oleh puluhan pasang mata
aku dan Ling Ling berdiri
dengan perasaan bercampur
antara malu, takut dan
gelisah. Ada beberapa di
antara penonton kami yang
terlihat malu-malu, terutama
cewek-cewek. Tetapi tak
sedikit pula, khususnya
cowok-cowok yang begitu
antusias menyaksikan kedua
tubuh kami yang bugil,
terutama tubuh ramping Ling
Ling yang putih dan mulus.
Setegar-tegarnya Ling Ling,
akhirnya ia tidak dapat
menahan tangisnya juga.
Dengan terisak-isak ia
mencoba berlindung di balik
badanku untuk melindungi
tubuhnya yang telanjang dari
tatapan mata binal para
penonton kami.
Ternyata penderitaan itu
belum berakhir sampai di sini.
Sebagian besar kerumunan di
sekelilingku dan Ling Ling
berteriak-teriak menyuruh
kami berdua berbuat lebih
jauh di depan mereka, walau
anda pula yang melarangnya.
Tetapi akhirnya pemimpin
rombongan mengambil
keputusan mengabulkan
keinginan mereka untuk
menonton aku menggauli Ling
Ling di hadapan mereka.
Keputusan ini bagaikan
halilintar yang menyambar
kami berdua. Tapi apa boleh
buat, kami terpaksa harus
mematuhinya juga, daripada
kami akan dibiarkan telanjang
bulat seterusnya di tengah-
tengah hawa pegunungan
yang dingin bila tidak mau
melakukannya. Isak tangis
Ling Ling pun kian menjadi-
jadi. Bahkan aku yang
mencoba membujuknya tidak
berhasil juga.
Akhirnya dengan berat hati,
kutempelkan tubuhku ke
tubuh Ling Ling. Begitu tubuh
kami menyatu dan dadaku
menempel dengan buah
dadanya yang hampir rata,
seketika itu ada semacam
aliran aneh yang menjalari
kami berdua. Tangis Ling Ling
pun berhenti. Dengan diiringi
tatapan-tatapan para
penonton yang melongo-longo
keheranan, kami tampaknya
melupakan apa yang baru
saja terjadi. Kami sudah
melupakan bahwa kami saat
ini tengah dihukum dan
dipermalukan di depan banyak
orang. Nafsu birahi yang
kembali timbul dan
intensitasnya mulai meninggi
sepertinya menghanyutkan
kami hingga kami lupa akan
segala-galanya.
Dengan gairah yang tinggi
kulumat bibir Ling Ling yang
mungil dan ia membalasnya
dengan gairah yang sama.
Lidah kami berdua saling
mempermainkan dalam rongga
mulut kami masing-masing.
Sementara kemaluanku mulai
merambah masuk ke dalam
lubang kewanitaan Ling Ling
yang menganga cukup lebar
di selangkangannya. Dengan
segera kugerak-gerakan
kemaluanku itu maju-mundur
di dalam liang kenikmatan
tersebut, dibarengi pula
dengan gerakan-gerakan
pantat Ling Ling yang ikut
maju-mundur berusaha
mengimbangi genjotanku. Para
penonton pun semakin
terpana melihat permainan
cinta yang baru pertama kali
disaksikan oleh sebagian
besar dari mereka. Begitu
panasnya persetubuhan yang
mereka saksikan, ada
beberapa orang yang
kelihatan bergetar hebat
tubuhnya. Sebagian lagi yang
tidak tahan menyaksikan
permainan cinta kami
langsung ambil langkah
mundur dan masuk ke tenda
mereka masing-masing.
Sementara di atas mulutku
masih saling berpagutan
dengan mulut Ling Ling, di
bawah permainan kemaluanku
di dalam kewanitaan Ling Ling
juga masih terjadi, malah
semakin cepat. Tak ayal lagi,
lenguhan-lenguhan keras
bersahutan keluar dari mulut
kami berdua. Diimbangi dengan
kedua tubuh kami yang
melonjak-lonjak keras.
Semakin lama semakin
bertambah panas. Tetapi
nafsu birahi yang membulak-
bulak seolah-olah telah
menenggelamkan kami berdua.
Tiada lagi rasa malu, rasa
takut, rasa canggung, dan
sebagainya. Yang tersisa
hanya rasa nikmat yang luar
biasa dan tak terlukiskan
oleh apapun. Sampai di suatu
titik puncak di mana kami
bersama-sama meregang,
meluapkan segala macam rasa
yang begitu hebatnya hingga
meresap sampai ke ujung
tulang kami.
Hari itu pula, Ling Ling
langsung pulang ke rumah
dengan diantar salah seorang
peserta yang sejak tadi
termasuk salah seorang yang
menentang hukuman yang
kami terima. Dan sejak saat
itu pula, aku tidak pernah
mendengar kabarnya lagi.
Baik di sekolah maupun di
tempat lain. Dari berita
terakhir yang kuterima,
kudengar ia bersama
keluarganya telah pindah
tempat meninggalkan kota
Jakarta ini.
Dalam hatiku timbul
penyesalan yang paling dalam,
mengapa aku berbuat khilaf
dan tega-teganya berbuat
yang tidak-tidak pada diri
Ling Ling, sehingga dirinya
menjadi korban seperti ini.
Segala macam rasa
bercampur baur dalam
benakku, rasa iba, rasa
menyesal, rasa ingin
melindungi, rasa kasihan dan..
rasa cinta.. Ling, di manakah
sekarang kamu berada di
saat-saat aku merasakan
sesuatu yang lain
terhadapmu? Ya, di saat aku
mulai merasakan ada rasa
cinta di hatiku padamu!
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar